Elegant Rose - Working In Background Coretan NiiFiYa: 2016

Minggu, 25 Desember 2016

TAUHID MULKIYAH PENGGANTI PANCASILA. MUNGKINKAH?



TAUHID MULKIYAH  PENGGANTI  PANCASILA.
MUNGKINKAH?


Apakah Indonesia perlu menjadi negara Islam?
Jawabannya menuai pro dan kontra. Berbagai jawaban disertai alasan yang menyakinkan dilontarkan dari sejumlah pihak terkait pertanyaan tersebut. Mereka yang berpandangan, tidak perlu menjadikan Indonesia sebagai negara Islam mempunyai alasan kuat. Begitupun bagi mereka yang menginginkan Indonesia menjadi negara yang berlandaskan Alquran dan sunah, tentu mempunyai rujukan. Sejarah mencatat, pernah terjadi ketidaksepahaman tentang ideologi negara Indonesia.  Fakta mengungkap, kontra ideologi tersebut telah melahirkan dua negara dalam satu masa. Negara Republik Indonesia sebagai wujud  prinsip nasionalisme dan Darul Islam.
Soekarno “Sang Putra Fajar” telah membacakan teks proklamasi kemerdekaan  atas  nama bangsa Indonesia  pada tanggal 17 Agustus 1945. Sementara itu, Darul Islam  (DI);  atau lebih dikenal dengan sebutan Negara Islam Indonesia (NII) merupakan sebuah negara  berasaskan Alquran dan sunah. Telah memproklamirkan berdirinya negara Islam pada tanggal 7 Agustus 1949 oleh imam DI yakni Iman Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. “…maka hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu ialah Hukum Islam…” pernyataan dalam naskah proklamasi tersebut menjadi ideologinya. Darul Islam/NII menjadi bagian penting yang tidak dapat dilupakan begitu saja dari serangkaian perjuangan Indonesia khususnya bagi umat Islam.
Sang murid ideologi, dari guru bangsa “Raja Jawa Tanpa Mahkota” HOS Cokroaminoto (De Ongekroonde Van Java) melanjutkan konsep hijrah pada masanya yang merupakan embrio revolusi  Negara Islam Indonesia. Disini penulis  tidak hendak membahas perjuangan beliau dalam politik, akan tetapi lebih menilik pada sistem pemikiran Darul Islam berkenaan dengan negara Islam sebagai wujud konkret dari tauhid mulkiyah.

MENILIK KONSEP TAUHID
Sebagaimana kita maklum, bahwa tauhid merupakan landasan utama dan pertama untuk memahami Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukan. Begitulah dipaparkan Wahab dalam bukunya  "Kitab Tauhid". Selain itu, Al Fauzan  memaparkan bahwa tauhid adalah  menyakini keesaan Allah dalam Rubbubiyah, ikhlas beribadah kepada-Nya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam yaitu tauhid rubbubiyah, tauhid ululhiyah serta tauhid asma wa sifat. Akan tetapi, bagi Darul Islam tidak cukup demikian. Perlu adanya tauhid  mulkiyah.
Apa itu tauhid mulkiyah?  Tauhid mulkiyah merupakan  bagian dari konsep tauhid yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan muslim. Menauhidkan Allah dalam mulkiyah-Nya yang bermakna bahwa Dialah pemimpin, pembuat hukum serta pemerintah  untuk mengatur alam ini. Aplikasi dari  tauhid mulkiyah menuntut adanya ke-wala-an secara totalitas kepada Allah, Rasul serta Ulil Amri (selama tidak bermaksiat kepada-Nya). Dari konsep tersebutlah maka  para pendahulu Darul Islam Indonesia  bercita-cita untuk mewujudkan Kerajaan Allah di bumi dengan menerapkan syariat  Islam secara Kaffah, namun  tetap  relevan mengikuti zaman sehingga lahirlah sebutan yang dikenal dengan “Negara Islam Indonesia.”
Konsep tauhid mulkiyyah merujuk kepada  Allah sebagai Malik.  Kata Malik  dalam Alquran  banyak disebutkan. Kata Malik bermakna Raja, artinya Allah sebagai Raja manusia dan Raja di hari pembalasan karena Dialah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. “Tidakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 107). Indonesia merupakan wilayah dari bagian bumi Allah yang seharusnya dipimpin, diperintah, dan diberlakukan hukum Allah sebagai kerajaan-Nya di bumi. Jadi aplikasi dari mengakui Allah sebagai Malik, kita harus mewujudkan  Mulkiyyah (kerajaan) Allah di bumi, khususnya di Indonesia bagi kita selaku wilayah yang kita tempati saat ini.

IMPLEMENTASI  TAUHID MULKIYAH,  PERSFEKTIF ILMU
Konsep tauhid mulkiyah sangat melekat dalam ideologi Darul Islam.  Hujjah  (dalil) yang digunakan dalam meninjau  sebutan “Negara Islam” dipandangnya dari berbagai arah. Berikut sudut pandang menurut ilmu mantik (ilmu logika) bahwasanya pada “Dilalah” (petunjuk), secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu, 1) Dilalah Lafziyah, bahwa bilamana petujuk itu merupakan lafaz atau perkataan, serta 2) Dilalah Ghairu Lafziyah, yakni bilamana petunjuk itu bukan merupakan lafaz, tetapi dengan isyarat, tanda-tanda, bekas-bekas, dan lainnya.
Demikianlah konsepsi negara Islam memahami isyarat kitabullah yang mengisyaratkan bahwa kita harus menjalankan hukum pidana Islam, melaksanakan ibadah yang berkait dengan ekonomi  serta memiliki kekuatan militer tersendiri. Berdasarkan isyarat itulah DI/NII berkenyakinan  bahwa dengan adanya kewajiban-kewajiban tersebut maka keharusan umat islam memilki kedaulatan sendiri, yaitu “Negara yang berasaaskan Islam”. Belum cukup menoleh dari ilmu mantiq, sudut pandang  selanjutnya adalah kaidah Ushul Fiqih, dimana suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu hal maka itu pula menjadi wajib ( مالايتمّ الواجب إلاّبه فهو واجبٌ). Dengan kata lain, ketika memerintahkan sesuatu  berarti memerintahkan pula seluruh yang menjadi wasilahnya (الامرُ بالشيئِ امرٌ بوسائله).  Kaidah ushul fiqih tersebut menghantarkan  analisa para pemikir Darul Islam bahwa menegakkan negara/Darul Islam itu hukumnya wajib sebagai pelantara yang bisa digunakan untuk menerapkan hukum Islam secara sempurna.
Senada dengan ilmu mantik dan kaidah ushul fiqih, aspek penginterpretasian  gagasan Darul Islam adalah Musthalahul Hadiŝ yang menyatakan bahwa hadis ialah semua yang disandarkan kepada  Nabi baik berupa Qauliyyah (perkataan), Fi’liyyah (perbuatan) dan Taqririyyah (pengakuan). Dalam hal ini, Fi’liyyah yang telah diprakterkkan Nabi yang telah membuat garis pemisah antara kekuatan militer musyrikin dan militer Islam.
Jadi demikianlah aplikasi dari tauhid mulkiyah dalam ideologi Darul Islam Indonesia yakni perlu dibentuknya Negara Islam dengan wilayah teritorial Indonesia.

TAUHID MULKIYAH, IDEOLOGI YANG TIDAK DIAKUI
“Sebutan negara Islam untuk Indonesia yang plural tidak lagi diperlukan. Yang terpenting, moral Islam dapat menyinari masyarakat luas melalui perkawinan perangkat hukum Islam dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi.”
 Ahmad Syafii Maarif, seorang Cendekiawan Muslim menjadikan kalimat tersebut sebagai pembuka dalam buku “Kontroversi Khilafah –Islam, Negara, dan Pancasila” karya Komaruddin Hidayat (ed.).
Meski Darul Islam telah menyakinkan, bahwa tauhid mulkiyah merupakan landasan tepat  untuk menjadi ideologi  negara Indonesia, pertentangan paham kerap disodorkan oleh pihak yang kontra terhadap pemikiran tersebut.  Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam dan menjadikan tauhid mulkiyah sebagai ideologinya, cukup Indonesia menjadi masyarakat yang Islami dengan menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya berdasarkan pancasila. Pancasila sebagai ideologi negara telah mencakup aspek-aspek yang dikehendaki Alquran.
Pancasila mempunyai keselarasan dengan Islam. Sila yang termuat di dalamnya, mencakup aspek-aspek nilai Islam. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pembuka sila pertama. Hal ini selaras bahwasannya, “Katakanlah  bahwa Allah Maha Esa.”  Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila selanjutnya menghantarkan bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang adil sebagaimana tertuang dalam surah An-Nahl ayat 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,…” maka tidak ada alasan untuk mengatakan pancasila sebagai ideologi yang tidak Islami. “…dan janganlah kamu bercerai berai…” surat Ali Imran ayat 103 mengisyaratkan persatuan. Persatuan yang dikemas dalam sila ketiga, Persatuan Indonesia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan juga tidak terlepas dari sendi-sendi nilai keislaman. “…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…” firman-Nya dalam surat Asy Syuura ayat 38. Sila terakhir dalam pancasila keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia, menjadi cita-cita bangsa Indonesia dalam menegakkan keadilan. Paparan tersebut memberikan indikasi bahwa pancasila merupakan  ideologi rahmatan lil ‘alamiin yang tidak perlu lagi dipertanyakan keislamannya. Secara tegas hal ini tidak mendukung gagasan tauhid mulkiyah di Indonesia.
            Gagasan tauhid mulkiyah menjadi ideologi negara Indonesia tidak serta merta dapat menggantikan ideologi pancasila begitu saja. Hal tersebut akan mengundang kontra  yang mendalam. Mengganti sebuah ideologi negara berarti merubah seluruh haluan negara.  Bukan hanya  aspek penjabaran dalam tataran formal, namun menyentuh pada hal-hal kecil yang krusial. Tentunya hal ini harus mempertimbangkan sebuah perubahan yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Terlebih ketika sebuah gagasan  ideologi tauhid mulkiyah  hanya  akan menjadi  formalisasi syariah Islam. Pengalaman formalisasi syariah di  negara kontemporer –lebih tepatnya penerapan fikih– tidak menjanjikan dalam penyelesaian permasalahan nasional. 

TAUHID MULKIYAH MENJADI IDEOLOGI, MUNGKINKAH?
Penerapan  tauhid Mulkiyah memerlukan perencanaan sistematis yang efektif. Sangat disayangkan jika hanya mengedepankan sebuah keinginan berlandaskan ketergesa-gesa-an.  Rasanya menggelikan, ketika menyajikan sebuah slogan – Tegakkan Negara Islam!-  dengan berkoar- koar ke bawah namun tunduk kepada penguasa di atas.
Proses dalam memahami segala konsekuensi dari penerapan tauhid Mulkiyah  harus menjadi prioritas dalam  membangun kesadaran berpikir kritis bukan hanya praktis

Tauhid mulkiyah tidak mustahil bisa menjadi ideologi negara Indonesia namun bukan suatu kepastian pula ia bisa diterapkan di Indonesia ­–saat ini begitu saja­–. Kondisi bangsa Indonesia sendiri  saat ini belum memungkinkan untuk menerapkan tauhid mulkiyah. Kondisi yang belum memungkinkan, bukan berarti kita menutup diri untuk tidak berorientasi menuju arah sana. Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya kita mempunyai cita-cita untuk mewujudkan tegaknya Islam di bumi Indonesia. Namun demikian, bukan hal yang mudah mengganti sebuah ideologi. Tauhid mulkiyah tidak bisa secara instan langsung menggantikan ideologi pancasila bagi Indonesia. Perlu dibangun kesadaran sistem berpikir masyarakat, sehingga warga negara Indonesia siap menghadapi kondisi perubahan, jika suatu hari tauhid mulkiyah memungkinkan untuk mengganti ideologi pancasila. Dakwah sebagai fase penyadaran sistem berfikir masyarakat menjadi langkah awal untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara Islam.
 “Islam tidak mungkin lenyap dari seluruh dunia tetapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?” tanya K.H Ahmad Dahlan akhirnya.
           



Selasa, 02 Agustus 2016

Ya Allah, Tunjukilah Kami Jalan yang Lurus



Ya Allah, Tunjukilah Kami Jalan yang Lurus
Jalan lurus itu tidak selalu mulus. Jalan lurus itu bukan berarti tanpa hambatan seperti jalan tol. Jalan lurus itu tidak selalu ramai apalagi sampai menimbulkan kemacetan, jalan lurus itu kadang sepi dan jarang dilalui orang. Tahu mengapa? Karena jalan lurus itu mendaki lagi sukar. Hanya orang-orang yang mendapat petunjuk-Nya lah yang dapat menempuh jalan lurus.
Ya  Allah tunjukilah kami jalan yang lurus, yakni jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang  sesat. Aamiin…

Senin, 01 Agustus 2016

Untukmu, Satu Lembar



Untukmu, Satu Lembar
Jika Allah berkehendak, maka “Jadilah”.
Kita adalah penulis. Hari-hari menjadi lembarannya. Amal menjadi tintanya. Maut menjadi epilognya. Tersusunlah sebuah buku. Kemudian pada hari itu, akan diterbitkan. Hari dimana semua orang akan mengetahui apa yang telah ditulisnya, membaca dengan kesaksian  seluruh anggota badannya.
Dunia ini bukan kumpulan dari lembaran kemustahilan. Ada lembar yang harus kita isi dengan berbagai kemungkinan. Andaikan hari-hari kita adalah lembarannya, maka amal adalah tinta yang akan merangkai kata menjadi sebuah kalimatnya. Kumpulan kata  mempunyai makna   untuk dipertanggungjawabkan di hadapan  Maha Pemberinya. Apa yang akan kita tulis pada lembaran-lembaran itu? Akankah kita penuhi hari-hari ini seumpama lembaran hanya dengan coretan tanpa makna? Sahabatku, andai Allah memberimu satu lembar yakni satu hari saja, apa yang akan kita tulis?.

Minggu, 31 Juli 2016

Secercah Cahaya di Langit ‘Aqabah



Secercah Cahaya di Langit ‘Aqabah
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku” (QS. Al-Anbiya’:25)
Membuka lembaran bara semangat masa lalu, kemudian dapatkan sebuah kabar tentang mereka yang memahami konsekuensi Syahadatain. Ada sebuah ruh bernama ihtimaam. Kepedulian. Mereka yang mempunyai kepedulian untuk ikut berjuang menegakkan kalimatullah.  Kita yang telah mengikrarkan dua kalimat persaksian, masihkan akan membiarkan barisan ini hanya dipikul oleh beberapa orang saja? Ingatkah bagaimana sikap kaum Nabi Musa yang mengatakan,  Pergilah berperang kamu bersama Tuhanmu, kami duduk-duduk menunggu disini.” Semoga kita tidak termasuk pada golongan ini.
Kita berlayar sejenak pada satu malam dimasa itu, sebuah pengakuan tulus dari pelaku ‘Aqabah. Ialah Ka’b ibn Malik, menuturkan, “Kami tidur di tengah rombongan kaum kami. Setelah melewati sepertiga malam, kami keluar dari rombongan menuju tempat yang sudah kami janjikan untuk bertemu dengan Rasulullah Saw. Masing-masing dari kami satu persatu berjalan mengendap-endap dengan langkah hati-hati, hingga akhirnya kami berkumpul di bukit ‘Aqabah.”
Allahu Akbar… begitulah contoh para jiwa-jiwa yang teguh pada pilihannya, bahkan sebelum ikrar syahadatain.   Secercah cahaya di langit ‘Aqabah  menjadi saksi keimanan dan  keteguhan mereka pada konsekuensinya.
Quran surah Al-Balad ayat 11-17 memberikan jawabannya. Kata ‘Aqaba dalam ayat ini diterjemahkan  ‘Mendaki lagi Sukar’. Apakah  lokasi ‘Aqabah mendaki mendaki lagi sukar? Jika memang demikian  lantas bagaimana bagi orang yang menempuhnya?  Tentu mereka adalah para pendaki yang percaya pada puncak pendakiannya ada keindahan. Mendaki lagi sukar yang sesungguhnya akan lebih terasa ketika ditemui dalam komitmen kehidupan, jejaknya dalam menempuh jalan dakwah.
“Berangkatlah kalian baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. At-Taubah:41).
How loyal are you to Allah?