TAUHID MULKIYAH PENGGANTI PANCASILA.
MUNGKINKAH?
Apakah Indonesia perlu menjadi negara
Islam?
Jawabannya menuai pro dan kontra. Berbagai
jawaban disertai alasan yang menyakinkan dilontarkan dari sejumlah pihak
terkait pertanyaan tersebut. Mereka yang berpandangan, tidak perlu menjadikan
Indonesia sebagai negara Islam mempunyai alasan kuat. Begitupun bagi mereka
yang menginginkan Indonesia menjadi negara yang berlandaskan Alquran dan sunah,
tentu mempunyai rujukan. Sejarah mencatat, pernah terjadi ketidaksepahaman
tentang ideologi negara Indonesia. Fakta
mengungkap, kontra ideologi tersebut telah melahirkan dua negara dalam satu
masa. Negara Republik Indonesia sebagai wujud
prinsip nasionalisme dan Darul Islam.
Soekarno
“Sang Putra Fajar” telah membacakan teks proklamasi kemerdekaan atas
nama bangsa Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Sementara itu, Darul Islam (DI); atau lebih dikenal dengan sebutan Negara Islam
Indonesia (NII) merupakan sebuah negara
berasaskan Alquran dan sunah. Telah memproklamirkan berdirinya negara
Islam pada tanggal 7 Agustus 1949 oleh imam DI yakni
Iman Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. “…maka hukum yang berlaku atas Negara
Islam Indonesia itu ialah Hukum Islam…” pernyataan dalam naskah proklamasi
tersebut menjadi ideologinya. Darul Islam/NII menjadi bagian penting yang tidak
dapat dilupakan begitu saja dari serangkaian perjuangan Indonesia khususnya
bagi umat Islam.
Sang murid
ideologi, dari guru bangsa “Raja Jawa Tanpa Mahkota” HOS Cokroaminoto (De
Ongekroonde Van Java) melanjutkan konsep hijrah pada masanya yang merupakan
embrio revolusi Negara Islam Indonesia.
Disini penulis tidak hendak membahas
perjuangan beliau dalam politik, akan tetapi lebih menilik pada sistem
pemikiran Darul Islam berkenaan dengan negara Islam sebagai wujud konkret dari
tauhid mulkiyah.
MENILIK KONSEP TAUHID
Sebagaimana
kita maklum, bahwa tauhid merupakan landasan utama dan pertama untuk memahami
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Tauhid adalah pegangan pokok dan
sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi
setiap amal yang dilakukan. Begitulah dipaparkan Wahab dalam bukunya "Kitab Tauhid".
Selain itu, Al Fauzan memaparkan bahwa
tauhid adalah menyakini keesaan Allah
dalam Rubbubiyah, ikhlas beribadah kepada-Nya, serta menetapkan bagi-Nya
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam yaitu tauhid
rubbubiyah, tauhid ululhiyah serta tauhid asma wa sifat. Akan
tetapi, bagi Darul Islam tidak cukup demikian. Perlu adanya tauhid mulkiyah.
Apa itu
tauhid mulkiyah? Tauhid mulkiyah
merupakan bagian dari konsep tauhid yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan muslim. Menauhidkan Allah dalam mulkiyah-Nya
yang bermakna bahwa Dialah pemimpin, pembuat hukum serta pemerintah untuk mengatur alam ini. Aplikasi dari tauhid mulkiyah menuntut adanya ke-wala-an
secara totalitas kepada Allah, Rasul serta Ulil Amri (selama tidak
bermaksiat kepada-Nya). Dari konsep tersebutlah maka para pendahulu Darul Islam Indonesia bercita-cita untuk mewujudkan Kerajaan Allah
di bumi dengan menerapkan syariat Islam secara
Kaffah, namun tetap relevan mengikuti zaman sehingga lahirlah
sebutan yang dikenal dengan “Negara Islam Indonesia.”
Konsep
tauhid mulkiyyah merujuk kepada
Allah sebagai Malik. Kata Malik dalam Alquran
banyak disebutkan. Kata Malik bermakna Raja, artinya Allah
sebagai Raja manusia dan Raja di hari pembalasan karena Dialah yang memiliki
kerajaan langit dan bumi. “Tidakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan
bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung
maupun seorang penolong.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 107). Indonesia merupakan
wilayah dari bagian bumi Allah yang seharusnya dipimpin, diperintah, dan
diberlakukan hukum Allah sebagai kerajaan-Nya di bumi. Jadi aplikasi dari
mengakui Allah sebagai Malik, kita harus mewujudkan Mulkiyyah (kerajaan) Allah di bumi,
khususnya di Indonesia bagi kita selaku wilayah yang kita tempati saat ini.
IMPLEMENTASI TAUHID MULKIYAH, PERSFEKTIF ILMU
Konsep
tauhid mulkiyah sangat melekat dalam ideologi Darul Islam. Hujjah (dalil) yang digunakan dalam meninjau sebutan “Negara Islam” dipandangnya dari
berbagai arah. Berikut sudut pandang menurut ilmu mantik (ilmu logika)
bahwasanya pada “Dilalah” (petunjuk), secara garis besar terbagi menjadi
dua yaitu, 1) Dilalah Lafziyah, bahwa bilamana petujuk itu merupakan lafaz
atau perkataan, serta 2) Dilalah Ghairu Lafziyah, yakni bilamana petunjuk
itu bukan merupakan lafaz, tetapi dengan isyarat, tanda-tanda,
bekas-bekas, dan lainnya.
Demikianlah
konsepsi negara Islam memahami isyarat kitabullah yang mengisyaratkan
bahwa kita harus menjalankan hukum pidana Islam, melaksanakan ibadah yang
berkait dengan ekonomi serta memiliki
kekuatan militer tersendiri. Berdasarkan isyarat itulah DI/NII
berkenyakinan bahwa dengan adanya
kewajiban-kewajiban tersebut maka keharusan umat islam memilki kedaulatan
sendiri, yaitu “Negara yang berasaaskan Islam”. Belum cukup menoleh dari ilmu mantiq, sudut pandang selanjutnya adalah kaidah Ushul Fiqih,
dimana suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu hal maka itu
pula menjadi wajib ( مالايتمّ الواجب إلاّبه فهو واجبٌ). Dengan kata
lain, ketika memerintahkan sesuatu
berarti memerintahkan pula seluruh yang menjadi wasilahnya (الامرُ بالشيئِ امرٌ بوسائله).
Kaidah ushul fiqih
tersebut menghantarkan analisa para
pemikir Darul Islam bahwa menegakkan negara/Darul Islam itu hukumnya wajib
sebagai pelantara yang bisa digunakan untuk menerapkan hukum Islam secara
sempurna.
Senada dengan ilmu mantik
dan kaidah ushul fiqih, aspek penginterpretasian gagasan Darul Islam adalah Musthalahul Hadiŝ
yang menyatakan bahwa hadis ialah semua yang disandarkan kepada Nabi baik berupa Qauliyyah
(perkataan), Fi’liyyah (perbuatan) dan Taqririyyah (pengakuan).
Dalam hal ini, Fi’liyyah yang telah diprakterkkan Nabi
yang telah membuat garis pemisah antara kekuatan militer musyrikin dan militer
Islam.
Jadi demikianlah aplikasi dari
tauhid mulkiyah dalam ideologi Darul Islam Indonesia yakni perlu
dibentuknya Negara Islam dengan wilayah teritorial Indonesia.
TAUHID MULKIYAH,
IDEOLOGI YANG TIDAK DIAKUI
“Sebutan
negara Islam untuk Indonesia yang plural tidak lagi diperlukan. Yang
terpenting, moral Islam dapat menyinari masyarakat luas melalui perkawinan
perangkat hukum Islam dengan sistem hukum nasional melalui proses
demokratisasi.”
Ahmad Syafii Maarif, seorang Cendekiawan
Muslim menjadikan kalimat tersebut sebagai pembuka dalam buku “Kontroversi
Khilafah –Islam, Negara, dan Pancasila” karya Komaruddin Hidayat (ed.).
Meski
Darul Islam telah menyakinkan, bahwa tauhid mulkiyah merupakan landasan
tepat untuk menjadi ideologi negara Indonesia, pertentangan paham kerap
disodorkan oleh pihak yang kontra terhadap pemikiran tersebut. Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam
dan menjadikan tauhid mulkiyah sebagai ideologinya, cukup Indonesia
menjadi masyarakat yang Islami dengan menerapkan nilai-nilai Islam dalam
kehidupannya berdasarkan pancasila. Pancasila sebagai ideologi negara telah
mencakup aspek-aspek yang dikehendaki Alquran.
Pancasila mempunyai keselarasan
dengan Islam. Sila yang termuat di dalamnya, mencakup aspek-aspek nilai Islam.
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pembuka sila pertama. Hal ini selaras
bahwasannya, “Katakanlah bahwa Allah
Maha Esa.” Kemanusiaan yang adil dan
beradab. Sila selanjutnya menghantarkan bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa
yang adil sebagaimana tertuang dalam surah An-Nahl ayat 90, “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,…” maka tidak ada
alasan untuk mengatakan pancasila sebagai ideologi yang tidak Islami. “…dan
janganlah kamu bercerai berai…” surat Ali Imran ayat 103 mengisyaratkan
persatuan. Persatuan yang dikemas dalam sila ketiga, Persatuan Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan juga tidak terlepas dari sendi-sendi nilai
keislaman. “…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka…” firman-Nya dalam surat Asy Syuura ayat 38. Sila terakhir dalam
pancasila keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia, menjadi cita-cita bangsa
Indonesia dalam menegakkan keadilan. Paparan tersebut memberikan indikasi bahwa
pancasila merupakan ideologi rahmatan
lil ‘alamiin yang tidak perlu lagi dipertanyakan keislamannya. Secara
tegas hal ini tidak mendukung gagasan tauhid mulkiyah di Indonesia.
Gagasan tauhid mulkiyah
menjadi ideologi negara Indonesia tidak serta merta dapat menggantikan ideologi
pancasila begitu saja. Hal tersebut akan mengundang kontra yang mendalam. Mengganti sebuah ideologi
negara berarti merubah seluruh haluan negara.
Bukan hanya aspek penjabaran
dalam tataran formal, namun menyentuh pada hal-hal kecil yang krusial. Tentunya
hal ini harus mempertimbangkan sebuah perubahan yang tidak bisa dilakukan dalam
waktu singkat. Terlebih ketika sebuah gagasan
ideologi tauhid mulkiyah
hanya akan menjadi formalisasi syariah Islam. Pengalaman
formalisasi syariah di negara
kontemporer –lebih tepatnya penerapan fikih– tidak menjanjikan dalam penyelesaian permasalahan nasional.
TAUHID MULKIYAH MENJADI
IDEOLOGI, MUNGKINKAH?
Penerapan tauhid Mulkiyah memerlukan perencanaan
sistematis yang efektif. Sangat disayangkan jika hanya mengedepankan sebuah
keinginan berlandaskan ketergesa-gesa-an.
Rasanya menggelikan, ketika
menyajikan sebuah slogan – Tegakkan Negara Islam!- dengan berkoar- koar ke bawah namun tunduk
kepada penguasa di atas.
Proses dalam
memahami segala konsekuensi dari penerapan tauhid Mulkiyah harus menjadi prioritas dalam membangun kesadaran berpikir kritis bukan
hanya praktis
Tauhid mulkiyah tidak
mustahil bisa menjadi ideologi negara Indonesia namun bukan suatu kepastian
pula ia bisa diterapkan di Indonesia –saat ini begitu saja–. Kondisi bangsa Indonesia sendiri saat ini belum memungkinkan untuk menerapkan
tauhid mulkiyah. Kondisi yang belum memungkinkan, bukan berarti kita
menutup diri untuk tidak berorientasi menuju arah sana. Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya kita mempunyai
cita-cita untuk mewujudkan tegaknya Islam di bumi Indonesia. Namun demikian,
bukan hal yang mudah mengganti sebuah ideologi. Tauhid mulkiyah tidak
bisa secara instan langsung menggantikan ideologi pancasila bagi
Indonesia. Perlu dibangun kesadaran sistem berpikir masyarakat, sehingga warga
negara Indonesia siap menghadapi kondisi perubahan, jika suatu hari tauhid mulkiyah
memungkinkan untuk mengganti ideologi pancasila. Dakwah sebagai
fase penyadaran sistem berfikir masyarakat menjadi langkah awal untuk
mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara Islam.
“Islam tidak mungkin lenyap dari seluruh dunia
tetapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang
bertanggungjawab?” tanya K.H Ahmad Dahlan akhirnya.